Monday, July 30, 2012

Menikah Untuk Menikah


Dan pada akhirnya kita akan menikah
Entah itu pada teman lama atau teman baru
Pada kekasih yang telah menahun atau pada mantan
Atau mungkin pada orang yang tak pernah kita tahu
Tapi hati-hati, bila segel rusak sebaiknya pikir lagi
***
Tok! Tok! Tok! Budi yang mendengar suara ketukan pintu itu segera berlari dari arah dapur meninggalkan masakannya. Kriieeettt!!! Dibukanya perlahan pintu reot itu dengan hati-hati karena Budi takut bisa merusak pintu yang melindungi bagian depan rumahnya itu.
“Siapa, yach?” Tanya Budi dengan suara bergetar tak mampu menyembunyikan kekagumannya pada seseorang wanita yang harum yang berdiri di hadapannya.
“Budi, yach?” Tanya wanita itu sambil menunjuk ke arah Budi.

“Eh, iya. Mbak, siapa, yach?” Tanya Budi sambil garuk-garuk kepala.
“Saya Laura… Kenal?” Tanya wanita yang bernama Laura itu sambil berjalan dan duduk di atas kursi tamu yang seadanya yang bisa jadi sangat tidak sepadan dengan pantat Laura.
“Laura?” Budi seperti mengingat-ingat sesuatu. “Aduh, Mbak. Aku nggak ingat…” Budi terlihat kesal namun masih saja tidak mampu luwes pada orang yang baru saja memasuki rumahnya itu.
“Kamu anak babu yang pernah tinggal di rumahku dulu, khan?” Tiba-tiba pertanyaan itu muncul dari bibir Laura dan terdengar sedikit kasar, namun membuat Budi menjadi ingat.
“Hah? Ber… Berarti Mbak anak majikan saya, yach? Waduh…” Budi garuk-garuk kepala kembali, sepertinya garuk-garuk kepala sudah menjadi kebiasaannya.
“Kamu pasti butuh uang, khan? Kalau begitu, menikahlah dengan aku…” Kata Laura pelan.
“Apa???”
Semua terjadi begitu cepat. Ternyata bagi orang yang berduit banyak, semua bisa diurus dengan waktu yang sangat cepat, Pikir Budi. Kini Laura dan Budi sudah melakukan akad nikah, dengan wali yang ecek-ecek dan saksi pun yang ecek-ecek.
“Seminggu saja…” Kata Laura sambil mengelap sisa-sisa bedak yang menempel di wajahnya. “Dan kau akan mendapatkan uang itu.” Lanjut Laura lagi sambil mengisyaratkan dengan lirikannya agar Budi pergi keluar dari dalam kamar. Budi pun menurut keluar dari kamar.
“Ini hanya ecek-ecek.” Kata Laura pelan lalu menutup pintu kamar yang seharusnya milik Budi. Budi masih terbengong-bengong, sepertinya baru saja dia mendapati wanita itu berdiri di depan rumahnya tanpa disuruh masuk, namun sekarang malah sudah dengan seenaknya memakai kamar pribadinya.
Segera dihempaskannya pantatnya di atas kursi yang berada di ruangan depan. Sesekali dia mengucek-ucek mata dan mencubit-cubit pipiny. “Apa mimpi?” Tanyanya dalam hati. Namun yang pasti dia sudah menjadi suami orang.
Seminggu kemudian, Laura keluar dari dalam kamarnya beserta dengan kopernya. Kemudian dia mengeluarkan amplop berwarna coklat dan memberikannya pada Budi yang sudah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.
“Kita bercerai… Nanti surat-surat cerainya diurus pembantu saya,” Kata Laura pelan dengan bibir yang telah dipoles lipstik berwarna merah. “Ini uangnya…” Kata Laura sambil melangkah lagi.
“Eh, Mbak Laura…” Panggil Budi yang masih kebingungan sambil melambaikan amplop berwarna coklat itu. “Sarapan, Mbak?” Tawar Budi.
“Gak usah…” Kata Laura halus.
“Tunggu…”
Laura melirik ke arah Budi yang berjalan ke arahnya dengan malas. Budi tertunduk dan sepertinya dia takut mengeluarkan pertanyaan yang sudah seharusnya dipertanyakannya.
“Apa?” Tanya Laura.
“Hmmm, Mbak? Sebenarnya maksud pernikahan kita  ini apa, yach?” Tanya Budi.
“Oh…”
Laura tertawa kecil kemudian menyandarkan kopernya ke dinding rumah Budi, kembali dia duduk di atas kursi Budi.
“Kamu mau tau banget, yach? Tanya Laur sambil memantik api dan mengarahkannya pada sebatang rokok yang bertengger di bibirnya.
“Iya, Mbak…” Budi terlihat semangat karena pada akhirnya Laura mau menjelaskan apa yang selama ini menjadi pertanyaan Budi.
“Okey… Saya bayar kamu untuk nikah ecek-ecek itu, karena…” Laura menarik napas dalam seperti ingin menentukan titik yang tepat di mana dia memulai membuka rahasianya.
Mata Laura terlihat berkaca-kaca, sangat lama ia mendapati waktu yang tepat untuk membuka keluh kesahnya. Bayangannya teringat kepada dia di masa yang lalu. Masa yang kelam dan penuh dengan dosa. Namun, lamunan itu menjadi buyar ketika Budi memanggil namanya, “Mbak Laura?”
“Eh…” Laura terlihat gelagapan kemudian menghisap kembali rokoknya. “Sampai di mana tadi?” Tanya Laura ngawur. “Oh… Baiklah… Maaf yah, kalau saya sedikit mengkhayal.” Laura kemudian melanjutkan ceritanya kembali. “Aku menikahi kamu karena… Karena aku udah nggak perawan lagi…” Katanya cepat, seperti menginginkan semuanya cepat berlalu.
Budi masih menggaruk-garuk kepala dan dirundung kebingungan. Tidak paham akan maksud dari wanita yang ada di hadapannya. Kemudian dengan cengar-cengir, Budi bertanya lagi “Maksudnya apa tho, Mbak?” Tanya Budi.
“Duh, kamu bingung, yach? Sama. Aku juga rada bingung.” Kata Laura membuang rokoknya yang masih sisa banyak itu. “Sebenarnya…” Tiba-tiba airmata Laura mengalir begitu cepat. “Duh, aku memang malang, Bud…” Kata Laura. “Sebenarnya, aku mau menikah sama pacarku yang sekarang, tapi aku takut… Hiks…” Laura mengusap pipinya yang basah. “Takut dia kecewa karena aku nggak perawan dan pergi meninggalkan aku, Bud…” Laura menutupi wajahnya dengan telapak tangannya, dia malu akan airmatanya yang terus mengalir deras. “Aku pikir lebih jadi janda, daripada nggak perawan lagi tanpa pernah menikah. Ini… Ini hanya alibi aku, Bud… Supaya bisa menikahi pacarku sekarang.” Jelas Laura.
“Lho? Memangnya pacar Mbak ngga marah kalau ternyata Mbak janda? Eh, maksudnya lebih memilih jadi janda…?” Tanya Budi polos.
Laura bangkit berdiri lalu mengambil koper yang tersandar di dinding itu. Dia mengusap-usap pipinya sampai benar-benar kering.
“Entahlah, Bud. Yang aku lihat sekarang pacarku itu sangat mencintai aku sekali.” Kata Laura pelan sambil berjalan beriringan dengan kopernya.
***
“Sayang…” Kata Laura pelan di suatu malam kepada seorang pria yang tampan rupawan. “Lamaran kamu kemarin, maaf jika aku lama menjawabnya.” Lanjut Laura, yang sepertinya sudah lebih berbangga menjadi janda daripada tidak perawan.
“Ya, iyalah… Aku menunggu kamu, sampai kamu itu udah siap lahir bathin.” Kata pria itu sambil mendekat lalu mengecup keningnya.
“Kemarin itu, aku… Aku….” Laura terbata-bata.
“Apa?”
“Aku…”
“Apa, Laura?”
“Aku janda…” Kata Laura terpatahkan sambil menutupi mukanya yang sedang menangis, padahal itu hanya alibinya saja. Dia justru lebih menyenangi statusnya menjadi janda ecek-ecek ketimbang menjadi perempuan yang tidak benar sampai-sampai kehilangan keperawanan karena pergaulan bebas di masa mudanya.
“Hah? Maksudnya?” Pria itu terbingung-bingung, mungkin kebingungannya sama seperti Budi yang terbingung-bingung karena permainan aneh Laura. “Janda apa, sich?” Pria itu kebingungan sambil garuk kepala.
“Aku janda… Janda… Masa kamu nggak ngerti, sich?” Kata Laura penuh semangat namun tetap dengan airmata palsunya.
“Ah…” Pria itu sedikit menjauh. “Mama Papamu bilang, kamu itu bukan janda, tidak pernah menikah…” Kata Pria itu berusaha mempertahankan kenyataan manis yang beberapa menit lalu masih ada.
“Mama Papa bohong. Tapi aku janda, aku sudah pernah menikah…” Jelas Laura lagi, memperjelas kejandaanya. “Dan… Aku sekarang… berharap kamu terima aku apa adanya…” Kata Laura dengan suara bergetar.
Pria itu semakin berdiri menjauh dari Laura yang menangis itu. Laura menatap pria itu dengan penuh harap agar omongannya bisa diterima logikanya tanpa mencederai kecintaannya pada Laura.
“Jadi bener kamu ini janda?” Tanya Pria itu lagi.
“Iya… Bener…” Jawab Laura semangat. “Kamu masih mau menerima aku, khan?” Tanya Laura tanpa malu-malu.
“Berarti selama ini kamu udah bohongi aku?” Tanya pria itu lagi.
“Hah?” Laura terlihat menunduk dan mulai takut. Lebih tepatnya, ia takut kehilangan.
“Kamu masih mau menerima aku, khan?” Kata Pria itu menirukan perkataan Laura sambil mencibirkan bibirnya. “Heh? Realistis dong sayang, aku pria baik-baik masak iya harus berpasangan dengan perempuan tukang bohong kayak kamu? Janda lagi? Berarti pernah berumah tangga dan aku sama sekali nggak tahu tentang itu?” Tiba-tiba pria yang dirundung kebingungan itu malah bangkit amarahnya.
Entahlah, pria itu menuduh Laura bohong. Padahal sebenarnya di balik kebohongannya Laura ada kebohongan lainnya yang ia tutupi dengan rapat. Namun, yang pasti pria itu berbalik badan dan pergi meninggalkan Laura dengan penuh rasa kecewa. Laura terplongo memandangi bayangan Pria itu, dalam hati Laura muncul kembali pertanyaan bodoh. “Sebenarnya yang lebih baik dan terhormat apa? Menjadi janda atau menjadi perempuan yang tidak menikah namun tidak perawan lagi? Atau mungkin yang terhormat itu sebuah kejujuran saja?” Padahal surat nikah ecek-ecek itu belum sempat dikeluarkan oleh Laura sebagai alibi lainnya. Ah… Rugi…
***
Alibi konyol seorang perempuan yang tidak perawan lagi…
***
Thanks yuah udah baca… :)

No comments:

Post a Comment

Silahkan Komentarnya ^_^