Tuesday, March 27, 2012

Satu Malam dengan Suamiku

1323410564963723761
“Aaaarrrgggghhhh!!!!!” Pekikku kencang terbangun dari mimpi burukku. Dadaku naik turun tak beraturan ketakutan karena mimpi seram itu lagi-lagi datang menghantuiku. Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku dan terlonjak lagi.  Spontan ku campakkan bantal guling yang ada di tanganku.
“Hey! Ini aku. Mas-mu” Kata suara itu membuatku berani sedikit menoleh. Ternyata Mas Ersan yang baru saja pulang dari kantor.
“Mas Ersan… Hiks…” Aku memeluk tubuhnya. Mas Ersan menepuk-nepuk pundakku.
“Mimpi buruk lagi?” Tanya Mas Ersan sambil melonggarkan dasinya. Aku mengangguk pelan dan menghapus sebagian peluhku. Ku pandangi ke arah jendela kaca kamarku, malam semakin kelam dan menakutkan membuat aku kembali memasang wajah ketakutan.

“Pasti belum berdoa, khan?” Kata Mas Ersan.
“Hehe… Iya, Mas…” Aku garuk-garuk kepala dan menyayangkan kebodohanku.
Suamiku ini orang yang baik dan taat ibadah pula dia selalu menyarankan saya untuk selalu berdoa sebelum tidur supaya tidak mimpi buruk. Mimpi buruk sudah menjadi kebiasaan malamku. Maklum kami tinggal di daerah yang cukup angker. Di belakang rumah kami saja ada hutan pinus dan jarak rumah kami dengan tetangga yang lain sekitar 100 meter. Cerita-cerita menyeramkan banyak ku dengar.
Tetapi mimpi buruk yang menghampiriku ini beda dari hari-hari yang kemarin. Dan sangat menakutkan. Terkadang aku bermimpi tentang suamiku yang meninggal ditabrak mobil, terkadang aku bermimpi tubuh suamiku dipatuki burung nasar dan banyak lagi, tetapi aku tak mau menceritakannya pada suamiku. Suamiku sedang dalam keadaan tertekan aku tahu itu tetapi dia berusaha mencairkan suasan dengan senyum manisnya. Sebenarnya suamiku sedang ada masalah dengan rekan kerjanya dan sampai ke pengadilan. Aku hanya berharap agar semua kejadian selesai.
Tiba-tiba, bayiku Evellyn menangis menjerit ketakutan. Aku keheranan karena bayiku ini bukanlah bayi yang rewel tetapi sekarang? Aku menggendongnya dan memberinya ASI.
“Kenapa yah, Mas? Kok dedek bayi kayak ketakutan begini…?” Kataku. Mas Ersan memalingkan wajahnya tak menjawab aku. Dia sudah berbaring di sampingku. Dan Evellyn semakin menjerit-jerit.
“Duh, kamu kenapa sich nak?” AKu berjalan menuju box bayi. Dan meletakkannya di dalam. AKhirnya diam juga. Aku hanya mengerutkan dahi kebingungan. Tiba-tiba suamiku Mas Ersan mengisyaratkan sesuatu dengan genitnya. Aku hanya tersenyum malu.
“Sudah lama kita tidak melakukannya.” Katanya.
“Hihihi.. Iya, Mas…”
Kami pun menghabiskan malam bersama dengan peluh. Sudah lama memang dan terlalu lama. Aku bahkan sempat berpikir kalau suamiku ini penyakitan atau apa? Hehehe… Malam menakutkan berubah menjadi malam paling indah yang pernah ku jalani.
***
Paginya, aku bangun dan ternyata suamiku sudah tak ada di sampingku. Aku berjalan ke arah cermin dan terkejut melihat tubuhku. Kenapa? Tubuhku terlihat biru-biru semua seperti orang yang baru dikeroyok massa. Aku memperhatikannya dan hampir sekujur tubuhku membiru, begitu juga dengan kakiku.
“Kenapa?”
Di tengah kebingunganku tiba-tiba Handphone-ku berdering ternyata dari suamiku. Aku segera mengangkatnya.
“Sayang, maaf yah aku langsung pergi ngantor ga bilang-bilang ada urusan mendadak soalnya.” Katanya dari seberang sana.
“He eh, Mas… Ga papah kok. Hati-hati yah.” Kataku tanpa memberitahukan tentang tubuhku yang membiru ini takut dia jadi khawatir dengan aku.
Aku berjalan keluar dari kamar masih tetap memegang Handphone-ku. Ku lihat jendela ruang tengah dan dapur belum dibuka padahal hari sudah siang. Aku segera membuka jendela ruang tengah dan kulitku yang membiru langsung disapa oleh sinar mentari.
Handphone-ku berdering kembali dan aku mengangkatnya sambil berjalan ke arah dapur. Ternyata dari suamiku, aku belum bicara apa-apa. Mataku terbelalak dengan apa yang ada di hadapanku. Aku menjerit…
“Aaarrgghhh!!! Mas Ersaaaannnn!!!!!!” Jeritku sambil memandangi nama pemanggil yang di Handphone-ku ternyata benar Mas Ersan.
“Hallo… Hallo…” Katanya dari seberang sana.
Aku tetap terbengong-bengong melihat jasad suamiku yang terbujur kaku menggelantung dengan tali yang diikat di plafon dapur. Dalam hitungan detik kemudian, aku roboh dan pingsan tak sadarkan diri. Handphone itu kembali berdering kembali.
***
Rumahku sudah dipenuhi orang-orang dan polisi. Aku hanya terduduk diam di lantai tak mau digubris siapapun yang ada di dalam rumah itu.
“Suamiku” Gumamku. Ku lihat lagi Handphone-ku ternyata tak ada daftar panggilan masuk Mas Ersan. Airmataku berjatuhan apalagi begitu mengetahui surat terakhirnya. Yang menyatakan dia tak sanggup lagi dengan hidupnya karena selalu diteror teman kerja.
“Selamat tinggal, sayang…” Katanya sayup-sayup.
“Selamat jalan sayang…” Balasku.
***

No comments:

Post a Comment

Silahkan Komentarnya ^_^