Thursday, May 31, 2012

Seorang Teman yang Meninggalkanku

Matanya nanar memandangi aku yang tergeletak lemah di atas rumput berwarna hijau yang sudah mulai kusam karena ribuan pijakan dari para prajurit. Aku berusaha memohon padanya untuk tak meninggalkan aku sendiri di tengah gempuran peperangan yang tak berkesudahan. Namun apa? Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ada luka yang tersibak lebar di pahaku,sementara di dadaku ada peluru yang menancap. Ah, ini menyakitkan, teman... Aku bisa mati di atas tanah yang seharusnya aku perjuangan dengan gagah berani. Namun apa? Baru satu hari aku menjadi prajurit tapi aku sudah melemah begini dan hampir menangis.


"Maaf, aku harus pergi..." Katanya padaku seolah-olah tak peduli walau matanya sudah terlihat berkaca-kaca. Dilangkahkannya kakinya dengan terseok-seok sambil memandangi ke atas langit ribuan pesawat tempur yang hampir meluluh lantakkan tanah perjuanganku. Beberapa teman-teman prajurit lainnya sudah berhamburan dan tidak lagi mengunakan senjata mereka yang ternyata tidak ada lagi artinya jika dibandingkan dengan artileri dan bazoka para musuh, lain lagi gempuran yang melesat ke bawah menghancurkan banyak prajurit yang tadinya gagah berani.

Aku menangis, ah laki-laki tapi aku malah menangis. Kupandangi dia yang sudah berlindung di bungker dan kemudian dengan langkah lambat mengikuti para prajurit lainnya melarikan diri dari sungai ke sebuah pedesaan terdekat. Ah, aku...?

Ya, aku... Aku dengan bodohnya tak dapat bergerak malah rebah di tanah yang lapang ditemani para prajurit lain yang sudah lebih dulu mati dan membeku dalam damainya sebuah hasil dari perjuangan. Ya, Tuhan... Kulihat beberapa lemparan granat dari pesawat tempur itu dan percikannya mengenai aku. Selang beberapa menit kemudian sebuah tembakan dari langit tepat mengenai aku, dan tubuhku pun hancur berkeping-keping. Ah, aku...

***

Dia yang meninggalkan aku adalah temanku. Teman sepermainan, teman sependeritaan. Di mana kolotnya dunia zaman dahulu membuat aku dan beberapa anak seusaiku dulu kebanyakan tak makan. Kaum arogan itulah yang sebenarnya membuat peperangan pecah. Ah, aku... Seandainya perang tidak ada, pastilah aku tidak akan melihat teman sepermainanku dulu tega meninggalkan aku dengan luka yang begitu dalam. Betapa konyolnya hidupku dengan bergaya sok menjadai pahlawan. Padahal mati konyol kemudian.

No comments:

Post a Comment

Silahkan Komentarnya ^_^