Cerpen Uli Elysabet Pardede
Apa
salahku memiliki rupa yang cantik? Ah, ternyata cantik begitu menyiksa
aku. Sejak kecil aku merasa jadi tontonan orang-orang karena aku cantik.
Kata cerita mereka, aku yang dulu mirip seperti sebuah boneka barbie
dengan rambut yang ikal dan sedikit berwarna coklat. Selalu menarik hati
orang-orang. Setiap sore ketika Bunda selesai memandikan aku, aku akan
dipakaikan baju cantik dengan motif polkadot, motif yang sangat disukai
Bundaku. Jika sudah begitu maka orang-orang akan memandang aku dengan
kagum.
“Bunda, aku takut…” Kataku saat orang-orang mendekat ingin
menggendongku. Kupeluk Bundaku dengan erat sampai membuat baju motif
polkadotku mengeriput.
Yah, motif polkadot yang membuat kenangan
tersendiri bagiku dan Bunda. Namun, itu dulu saat masa kecilku yang
indah. Kini, Bunda telah tiada, meninggal karena melahirkan adik
laki-laki yang lucu. Aku sedih karena aku sendiri. Aku inginkan Bunda
kembali dalam pelukanku lagi. Hidup bermanja-manja tidak ada lagi,
karena aku sudah menjadi anak yatim piatu.
Semakin aku dewasa,
semakin aku cantik. Tapi hidup tak hanya mengenai kecantikan saja bukan?
Kulayangkan surat lamaranku ke banyak kantor hanya berbekal ijazah
SMA-ku. Dalam hati sebenarnya aku ingin menjadi manusia yang sangat
mandiri. Aku harus tau diri bahwa aku hanyalah anak yatim piatu yang tak
boleh bermalas-malasan. Dan pada akhirnya niatku untuk mandiri pun
dikabulkan oleh Tuhan. Aku diterima di sebuah kantor.
Ketika aku
berjalan menapaki lantai kantor itu, semua mata tertuju padaku. Ada
perempuan yang memandangku sinis. Dan ada laki-laki yang memandangku
penuh birahi. Sungguh, aku muak dengan pandangan mereka, pandangan yang
sesungguhnya sudah aku rasakan sejak aku kecil dulu. Tapi aku tetap
ramah menghadapi mereka walau hati sakit menghadapi tatapan mata mereka
yang beragam.
Waktu bergulir begitu cepat hingga akhirnya aku
mulai terbiasa di kantor itu. Boss-nya sangat baik padaku membuat aku
betah menetap bekerja di tempat itu. Namun semua berubah ketika kudengar
bisikan para karyawan perempuan mengenai aku yang sebagai satu-satunya
karyawan yang hanya tamatan SMA.
“Tamatan SMA kok bisa masuk kantor ini.”
“Jual tampang kali dia…”
“Atau dia simpanan Boss…”
“Tamatan SMA kok bisa masuk kantor ini.”
“Jual tampang kali dia…”
“Atau dia simpanan Boss…”
Sesungguhnya
celotehan mereka kudengar dan hatiku serasa diiris tapi ada sesuatu
yang dinamakan harga diri menahan aku untuk tidak melabrak mereka satu
per satu. Yang aku tahu, aku berada di kantor itu hanyalah untuk
menyambung nyawa. Bukan untuk berdebat dengan mereka. Terkadang pula
kudengar celotehan mereka seperti ini.
“Hidungnya oplas khan… Keliatan kok, dasar manusia yang ga bersyukur. Tapi dia punya duit dari mana yah?”
“Jual diri dulu kali. Eh, tapi bibirnya juga kayak bukan asli deh. Jangan-jangan oplas juga. Duh, masih baru tamat SMA udah oplas, kita tunggu aja kehancuran oplasnya. Pasti dia kayak nenek sihir.” Celoteh yang lain. “Sok cantik banget.”
“Jual diri dulu kali. Eh, tapi bibirnya juga kayak bukan asli deh. Jangan-jangan oplas juga. Duh, masih baru tamat SMA udah oplas, kita tunggu aja kehancuran oplasnya. Pasti dia kayak nenek sihir.” Celoteh yang lain. “Sok cantik banget.”
Aku tetap bersabar, sepertinya
mereka berbisik dengan suara yang keras supaya aku mendengarnya dan
menangis di hadapan mereka. Mungkin itu harapan terbesar dari mereka.
Tuhan, kuatkanlah hambamu ini.
Aku jadi ingat kata-kata Bunda
semasa hidupnya dulu ketika aku menangis saat orang-orang yang memuji
kecantikanku dan ingin menggendong aku membuat aku ketakutan.
“Sayang…
Cantik itu sesuatu yang beda, itu yang membuat mereka memujimu,” Aku
jadi bingung, dulu saat aku masih kecil dipuji-puji karena kecantikan.
Kenapa saat aku sudah besar dihina-hina karena kecantikan? Jika Bunda
masih hidup apakah Bunda akan berkata seperti ini? “Cantik itu sesuatu
yang beda, itu yang membuat mereka membencimu.”
Karena aku cantik,
aku jadi tak punya teman. Kalaupun ada mereka hanyalah laki-laki yang
ada di kantor mengajak aku makan siang dan membayarnya. Oke, terima
kasih banyak untuk penawaran itu, tapi kumohon jangan pandangi aku
dengan nafsu.
Semua semakin runyam dan aku benci kata-kata
“cantik”. Dan beberapa waktu kemudian aku dihadapkan kenyataan saat
istri Boss-ku menampar aku karena aku dituduh berselingkuh dengan
beliau. Lain lagi dengan seorang karyawan perempuan yang selalu merusak
hasil kerjaku yang tergeletak di atas meja jika aku sedang tidak ada di
meja kerja. Karyawan perempuan itu melakukannya karena dia cemburu, aku
sedang dekat dengan karyawan laki-laki yang ditaksirnya.
Fitnah
lebih kejam dari pembunuhan. Aku tak tahan kalau cantik tetapi hanya
untuk dicemburui. Aku jadi rindu masa kecilku di mana aku selalu
dipuji-puji. Tapi kini…?
Sepulang kerja kumasuki kamarku yang
berukuran 3x4 meter, kamar yang kecil dan sesak. Yang di dalamnya hanya
ada kasur kecil yang tergeletak begitu saja di atas ubin. Kemudian
sebuah lemari tua dan meja rias. Aku tepat duduk di bangku menghadap
cermin yang sudah buram di atas meja rias. Aku menatap diriku dengan
sangat menjijikkan.
Kalau memang kelebihanku hanya untuk
dicemburui. Untuk apa? Kubuka laci meja rias yang menghasilkan bunyi
yang mengerikan menandakan laci itu sudah sangat tua dan selayaknya
diganti. Kuacak-acak isi laci yang tak beraturan itu kemudian
kucampakkan barang yang sebenarnya tidak kucari, dan akhirnya kutemukan
yang kucari yaitu sebuah gunting.
Entah apa yang kulakukan yang pasti beberapa menit kemudian gunting itu sudah dilumuri darah.
Esoknya, aku pergi ke kantor dan seisi kantor terkejut melihat aku. Yah, jelas sekali… Wajahku sobek di bagian pipi. Aku tidak menggoreskan semua karena jujur saja rasanya terlalu menyakitkan.
Esoknya, aku pergi ke kantor dan seisi kantor terkejut melihat aku. Yah, jelas sekali… Wajahku sobek di bagian pipi. Aku tidak menggoreskan semua karena jujur saja rasanya terlalu menyakitkan.
Yang jelas setelah
kejadian itu dipecat dengan cara halus akhirnya kuterima. Namun mungkin
karena iba akhirnya mereka mengizinkan aku bekerja sebagai cleaning
service.
Cantik itu getir. Untuk apa cantik jika hanya untuk
dicemburui bahkan dicelakai. Aku hanya berharap jika suatu saat nanti
aku memiliki anak tidak ada yang berwajah cantik. Karena cantik itu
getir, dan membuat hidup dilecehkan.
Kulanjutkan kembali kegiatanku menyapu lantai kantor tanpa ada lagi yang memperhatikan aku dengan kagum atau mungkin cemburu. Karena aku, bukan aku yang dulu. Yang cantik tapi penuh luka…
Pematangsiantar, 17 April 2012
***
Kulanjutkan kembali kegiatanku menyapu lantai kantor tanpa ada lagi yang memperhatikan aku dengan kagum atau mungkin cemburu. Karena aku, bukan aku yang dulu. Yang cantik tapi penuh luka…
Pematangsiantar, 17 April 2012
***
Penulis: Uli Elysabet Pardede.
Kelahiran Jakarta, 15 Agustus 1991. Sekarang berdomisili di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Sedang menyelesaikan studi di Amik Tunas Bangsa Pematangsiantar, Sumatera Utara. Suka menulis fiksi mengenai perempuan. Biasa menulis di www.kompasiana.com/ulipardede atau www.truepardede.blogspot.com .
Kelahiran Jakarta, 15 Agustus 1991. Sekarang berdomisili di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Sedang menyelesaikan studi di Amik Tunas Bangsa Pematangsiantar, Sumatera Utara. Suka menulis fiksi mengenai perempuan. Biasa menulis di www.kompasiana.com/ulipardede atau www.truepardede.blogspot.com .
Sumber: http://oase.kompas.com/read/2012/04/18/05174776/Cantik.Itu.Getir
No comments:
Post a Comment
Silahkan Komentarnya ^_^