“Aaaarrrgggghhhh!!!!!”
Pekikku kencang terbangun dari mimpi burukku. Dadaku naik turun tak
beraturan ketakutan karena mimpi seram itu lagi-lagi datang
menghantuiku. Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundakku dan terlonjak
lagi. Spontan ku campakkan bantal guling yang ada di tanganku.
“Hey! Ini aku. Mas-mu” Kata suara itu membuatku berani sedikit menoleh. Ternyata Mas Ersan yang baru saja pulang dari kantor.
“Mas Ersan… Hiks…” Aku memeluk tubuhnya. Mas Ersan menepuk-nepuk pundakku.
“Mimpi buruk lagi?” Tanya Mas
Ersan sambil melonggarkan dasinya. Aku mengangguk pelan dan menghapus
sebagian peluhku. Ku pandangi ke arah jendela kaca kamarku, malam
semakin kelam dan menakutkan membuat aku kembali memasang wajah
ketakutan.
“Pasti belum berdoa, khan?” Kata Mas Ersan.
“Hehe… Iya, Mas…” Aku garuk-garuk kepala dan menyayangkan kebodohanku.
Suamiku ini orang yang baik dan taat
ibadah pula dia selalu menyarankan saya untuk selalu berdoa sebelum
tidur supaya tidak mimpi buruk. Mimpi buruk sudah menjadi kebiasaan
malamku. Maklum kami tinggal di daerah yang cukup angker. Di belakang
rumah kami saja ada hutan pinus dan jarak rumah kami dengan tetangga
yang lain sekitar 100 meter. Cerita-cerita menyeramkan banyak ku
dengar.
Tetapi mimpi buruk yang menghampiriku
ini beda dari hari-hari yang kemarin. Dan sangat menakutkan. Terkadang
aku bermimpi tentang suamiku yang meninggal ditabrak mobil, terkadang
aku bermimpi tubuh suamiku dipatuki burung nasar dan banyak lagi,
tetapi aku tak mau menceritakannya pada suamiku. Suamiku sedang dalam
keadaan tertekan aku tahu itu tetapi dia berusaha mencairkan suasan
dengan senyum manisnya. Sebenarnya suamiku sedang ada masalah dengan
rekan kerjanya dan sampai ke pengadilan. Aku hanya berharap agar semua
kejadian selesai.
Tiba-tiba, bayiku Evellyn menangis
menjerit ketakutan. Aku keheranan karena bayiku ini bukanlah bayi yang
rewel tetapi sekarang? Aku menggendongnya dan memberinya ASI.
“Kenapa yah, Mas? Kok dedek bayi kayak ketakutan begini…?” Kataku. Mas Ersan memalingkan wajahnya tak menjawab aku. Dia sudah berbaring di sampingku. Dan Evellyn semakin menjerit-jerit.
“Duh, kamu kenapa sich nak?”
AKu berjalan menuju box bayi. Dan meletakkannya di dalam. AKhirnya diam
juga. Aku hanya mengerutkan dahi kebingungan. Tiba-tiba suamiku Mas
Ersan mengisyaratkan sesuatu dengan genitnya. Aku hanya tersenyum malu.
“Sudah lama kita tidak melakukannya.” Katanya.
“Hihihi.. Iya, Mas…”
Kami pun menghabiskan malam bersama
dengan peluh. Sudah lama memang dan terlalu lama. Aku bahkan sempat
berpikir kalau suamiku ini penyakitan atau apa? Hehehe… Malam
menakutkan berubah menjadi malam paling indah yang pernah ku jalani.
***
Paginya, aku bangun dan ternyata
suamiku sudah tak ada di sampingku. Aku berjalan ke arah cermin dan
terkejut melihat tubuhku. Kenapa? Tubuhku terlihat biru-biru semua
seperti orang yang baru dikeroyok massa. Aku memperhatikannya dan
hampir sekujur tubuhku membiru, begitu juga dengan kakiku.
“Kenapa?”
Di tengah kebingunganku tiba-tiba Handphone-ku berdering ternyata dari suamiku. Aku segera mengangkatnya.
“Sayang, maaf yah aku langsung pergi ngantor ga bilang-bilang ada urusan mendadak soalnya.” Katanya dari seberang sana.
“He eh, Mas… Ga papah kok. Hati-hati yah.” Kataku tanpa memberitahukan tentang tubuhku yang membiru ini takut dia jadi khawatir dengan aku.
Aku berjalan keluar dari kamar masih
tetap memegang Handphone-ku. Ku lihat jendela ruang tengah dan dapur
belum dibuka padahal hari sudah siang. Aku segera membuka jendela
ruang tengah dan kulitku yang membiru langsung disapa oleh sinar
mentari.
Handphone-ku berdering kembali dan aku
mengangkatnya sambil berjalan ke arah dapur. Ternyata dari suamiku,
aku belum bicara apa-apa. Mataku terbelalak dengan apa yang ada di
hadapanku. Aku menjerit…
“Aaarrgghhh!!! Mas Ersaaaannnn!!!!!!” Jeritku sambil memandangi nama pemanggil yang di Handphone-ku ternyata benar Mas Ersan.
“Hallo… Hallo…” Katanya dari seberang sana.
Aku tetap terbengong-bengong melihat jasad suamiku yang terbujur kaku menggelantung dengan tali yang diikat di plafon dapur. Dalam hitungan detik kemudian, aku roboh dan pingsan tak sadarkan diri. Handphone itu kembali berdering kembali.
***
Rumahku sudah dipenuhi orang-orang dan
polisi. Aku hanya terduduk diam di lantai tak mau digubris siapapun
yang ada di dalam rumah itu.
“Suamiku” Gumamku. Ku lihat
lagi Handphone-ku ternyata tak ada daftar panggilan masuk Mas Ersan.
Airmataku berjatuhan apalagi begitu mengetahui surat terakhirnya. Yang
menyatakan dia tak sanggup lagi dengan hidupnya karena selalu diteror
teman kerja.
“Selamat tinggal, sayang…” Katanya sayup-sayup.
“Selamat jalan sayang…” Balasku.
***
No comments:
Post a Comment
Silahkan Komentarnya ^_^